###
IV
Banyak dari kasus terlapor yang lambat mendapat penanganan, penyelidikan yang berlarut-larut, dan beberapa dari kasus-kasus itu hanya menumpuk saja berkasnya di atas meja, tidak terselesaikan. Penyebabnya beragam. Dari banyaknya kasus yang harus diselesaikan, kurangnya petugas yang membantu proses penyelidikan, atau memang terabaikan karena kurangnya alat bukti.Memberi keamanan adalah tugas negara. Untuk itu Presiden mengeluarkan perintah untuk membentuk Tim Khusus sebagai solusi yang diturunkan kepada mentrinya, disampaikan kepada Mabes dan kemudian diteruskan ke Kepolisian Resort dan Sektor. Tim yang anggotanya terdiri dari 4-5 orang petugas.
Tim Khusus ditugaskan untuk menyelidiki kasus-kasus yang memang memerlukan penanganan khusus. Tujuannya adalah agar kepolisian tidak hanya terfokus pada kasus-kasus besar. Agar setiap kasus bisa tertangani dengan adil dan agar penindakan bisa secepatnya dilakukan.
“Permisi,” Ken masuk ke sebuah ruangan yang menjadi markas Tim Khusus. “Lapor pak, saya Atmaja Ken yang ditugaskan untuk membantu tim,” Ken memberi hormat.
“O... jadi ini anak yang sering disebut-sebut itu.” Seorang petugas berdiri di depan Ken dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.
Haikal. Ia adalah orang tipe bersahabat sebenarnya. Tapi setiap orang yang pertama kali mengenalnya selalu menganggapnya menyebalkan. Teman-teman petugas lain mengenalnya sebagai seorang dengan karakter narsistik. Tingginya 185 cm, rambutnya yang ikal, panjang hingga hampir menutupi seluruh lehernya itu diikat ke belakang. Bagian sisi-sisinya yang tidak ikut terikat dibiarkan jatuh. Ikatannya sedikit berantakan, tapi itu justru memberi kesan keren.
Hidung Ken mengembang. “Siap menerima tugas, Pak,” katanya dengan suara tegas nan lantang.
Ken memperhatikan semua orang yang berada satu ruangan dengannya. Termasuk dia total semuanya ada 4 orang. Seharusnya ada satu orang lagi, tapi tidak terlihat dimanapun keberadaannya.
Orang yang pertama menyapa Ken, Haikal, 27 tahun. Ia berasal berasal dari satuan Reskrim unit kejahatan dan kekerasan.
Orang selanjutnya Iwata, 27 tahun. Seperti halnya Haikal, Iwata juga berasal dari satuan Reskrim. Sebelumnya Iwata di tempatkan di unit kejahatan dan kekerasan Polres Barat, berbeda dengan Haikal yang berada di Polres Selatan. Tapi baru-baru ini Iwata mendapat perintah untuk bergabung dengan unit Kriminal Umum.
Kata orang, pemilik rahang dengan bentuk turun, lurus, dan panjang membulat, berpadu dengan mata elang adalah tipe dengan karakter kuat dan optimisme tinggi. Iwata bukan orang yang percaya dengan keberuntungan yang bisa dibaca melalui karakter bentuk wajah. Tapi karakter kuat dan optimisme tinggi memang dua karakter yang ia butuhkan untuk bisa menyelesaikan sebuah kasus.
Iwata memiliki rambut tebal. Ia menghabiskan banyak gel untuk membuat rambutnya kaku, kemudian dibelah samping hingga sisi kiri lebih tebal.
Petugas ketiga Huda, 25 tahun. Seorang Reserse juga, berasal dari satuan Reskrim unit Resmob.
Huda memiliki wajah imut turunan dari Ibunya, dengan bentuk hidung lurus, panjang, dan ujung hidung bulat. Rambutnya undercut dengan gaya spike. Bagian belakangnya diatur agak panjang dan berlapis. Pemilihan gaya rambut dan wajah imut yang dimilikinya membuat Huda terlihat lebih muda dari usianya. Ia adalah satu-satunya petugas pria berwajah imut di unitnya, bahkan di seluruh kepolisian.
“Selamat bergabung di Tim Khusus,” sambut Huda kemudian menepuk bahu Ken.
Dibandingkan dengan Haikal, Iwata, dan Huda, pengalaman Ken kalah jauh. Tapi seperti juga para petugas yang lainnya, Ken memiliki kelebihan-kelebihannya sendiri. Itu sebabnya ia dipercaya untuk membantu di Tim Khusus, selain karena para petugas senior di unitnya memang masih sibuk dengan tugas mengidentifkasi para korban pesawat jatuh. Dan sekali lagi Ken harus merevisi jadwal bermalas-malasan dan bermain seharian dihari liburnya.
Setahun lalu, uji coba Tim Khusus pertama kali diberlakukan. Pemerintah ingin mengetahui seberapa efektifnya pembentukan tim tersebut sebelum benar-benar menerapkannya. Anggotanya saat itu adalah AKBP Iryand sebagai ketua tim, Haikal, Iwata, dan Huda. Yang artinya perombakan anggota hanya terjadi pada ketua timnya saja. Kasus yang ditangani pun tidak main-main. Sebuah pembunuhan berantai yang telah memakan banyak korban jiwa.
Ketua tim datang lebih lambat dari waktu yang dijanjikan untuk berkumpul. Ken berpikir, jika tahu akan seperti ini seharusnya ia bisa tidur sepuluh menit lagi.
AKP Hamzah Amir 29 tahun. Ia adalah ketua yang ditunjuk untuk tim khusus kali ini. Berasal dari unit Laka Lantas dan petugas yang juga memimpin salah satu kasus kecelakaan dengan penyekapan yang ditangani unitnya tempo hari.
Ketua tim membagikan laporan kasus yang akan mulai mereka selidiki hari ini. Setelah memperkenalkan diri secara singkat, ia memulai rapat pertama Tim Khusus pembunuhan dengan kecelakaan. Ia menjelaskan detail kasus dengan cepat, kemudian mempersilahkan anggotanya untuk mengajukan pertanyaan.
Ada dua kasus kecelakaan atau bisa disebut pembunuhan yang disamaran sebagai kecelakaan.
Kasus pertama terjadi sekitar seminggu yang lalu. Tempatnya berada di wilayah yuridiksi yang berbeda dengan kasus kedua. Tapi karena belum juga terpecahkan dan memiliki kesamaan kasus dengan yang AKP Hamzah tangani, kedua kasus itu kemudian dilemparkan ke Tim Khusus.
Kesamaan kasus pertama dan kedua yaitu; korban memiliki bekas ikatan di tangan dan kakinya yang menandakan korban lebih dulu disekap, dibiarkan melarikan diri karena keamanan penjagaan di tempat penyekapan sangat sembrono, dan kecelakaan pun terjadi. Kendaraan yang digunakan untuk menabrak juga sama-sama kendaraan curian.
Di kasus pertama, mobil korban ditabrak dengan menggunakan truk curian dari arah samping. Saat mobil yang dikendarainya ditabrak, kepala korban membentur kaca jendela. Memar dan luka robek akibat pecahan kaca juga melukai wajah dan bagian tubuh lainnya. Menurut hasil otopsi, korban mengalami fraktur kosta sehingga menganggu pernafasan. Korban juga kehabisahan banyak darah dan terlambat mendapat pertolongan.
Awalnya tabrakan itu diduga sebagai kecelakaan biasa. Tapi ketika petugas menemukan tempat korban sebelumnya disekap, tanda-tanda bahwa korban sengaja dibiarkan kabur menjadi terendus sangat jelas. Pintu tempat korban disekap hanya ditahan meja kecil dan mobil korban sengaja ditinggalkan didepan TKP penyekapan dengan pintu mobil setengah terbuka dan kunci yang masih tertinggal.
Truk yang digunakan untuk menabrak ditemukan di jalan poros arah ke kota seberang. Pemilihan tempat persembunyian yang juga mirip dengan kasus kedua. Perusahaan pemilik truk lambat memasukkan laporan kehilangan karena menganggap hal itu adalah perbuatan salah satu karyawannya. Perusahaan bahkan sudah memberi sangsi dengan melakukan pemecatan terhadap karyawan yang dicurigai itu.
Petugas telah melakukan penyelidikan terhadap karyawan yang dicurigai tersebut, tapi tidak ditemukan hal yang mencurigakan. Orang itu memiliki alibi karena ia bersama temannya berkeliling mencari truk yang tiba-tiba hilang.
“Apa ada kemungkinan pembunuhan dilakukan oleh lebih dari satu orang ?” Haikal mengajukan pertanyaan. “Satu orang yang menyekap dan orang lain lagi yang menyiapkan kendaraan untuk menabrak.”
“Tidak ditemukan tanda-tanda kejahatan dilakukan oleh lebih dari satu orang, tapi kita tidak boleh sepenuhnya menutup mata pada kemungkinan itu,” jawab ketua tim.
“Bagaimana dengan jejak sepatu ?” Kali ini Ken yang mengajukan pertanyaan. “Tanah di TKP penyekapan kasus pertama lembap. Jika pelaku penyekapan dan pelaku tabrak lari adalah orang yang sama seharusnya ada jejak sepatu dalam mobil.”
Ketua tim mebolak-balik laporan kasus kedua yang sudah dibagikannya. Tidak ada keterangan apapun mengenai jejak yang tertinggal dalam mobil. Ketua tim berpikir lagi, mengingat ulang. Pikirannya bergerak cepat. Setiap detail TKP yang dilihatnya tergambar jelas di kepalanya. Cuaca, bahkan aroma tanah yang ia cium juga terasa sama seperti hari itu. Begitu nyata, dekat. Ketua tim mulai memperhatikan sekeliling, tempat saat mobil yang menabrak korban di kasus kedua ditemukan.
“Tidak, tidak ada jejak.” Ketua tim memberikan jawaban setelah cukup lama mengingat “tapi ada butiran tanah kemerahan seperti tanah di TKP penyekapan. Seperti yang tertulis dalam laporan, tempat duduk samping kemudi juga bersih."
Ketua tim menambahkan, "apa masih ada pertanyaan lain, kalau tidak kita akan mulai membagi kelompok dan menyelidiki ulang.”
“Jika pelakunya sama, kenapa pelaku menyekap korban, membiarkannya bebas, baru kemudian membunuh. Kenapa tidak langsung dibunuh saat korban disekap ?” Huda mengangkat tangannya ke udara sembari mengajukan pertanyaan.
“Itu akan dijawab setelah kita berhasil menangkap pelakunya atau setelah penyelidikan memberikan hasil yang lebih baik.” Ketua tim memilih kalimat yang terdengar diplomatis untuk menjawab pertanyaan Huda. “Ada lagi ?”
Tidak satupun dari empat orang yang ditanya mengeluarkan suara, menandakan penjelasan yang diberikan sudah cukup. Gambaran mengenai seperti apa kasus yang tengah mereka tangani pun sudah cukup jelas. Saatnya beralih ke sesi selanjutnya untuk membagi kelompok dan melanjutkan penyelidikan.
***
V
Penyelidikan yang dilakukan tidak hanya mengandalkan hasil laporan yang mereka terima dari ketua tim. Untuk benar-benar memahami situasinya, mereka harus mendatangi TKP secara langsung. Memeriksa sendiri dengan teliti. Barang kali saja ada yang terlewatkan, barang kali saja ada petunjuk tersembunyi.
Tempat penyekapan adalah gudang penyimpanan yang sebelumnya terbakar. Letaknya dalam gang, paling ujung. Pembangunan ulang masih dilanjutkan sampai tahun lalu, tapi terhenti karena satu alasan. Biaya.
Di halaman depan terdapat jejak ban mobil yang dalam laporan dinyatakan cocok dengan mobil milik korban. Selain itu tidak ada jejak apapun lagi yang tertinggal. Seteliti atau selama apapun diperhatikan tetap tidak ditemukan hal lainnya.
Haikal masuk lebih dulu kedalam gudang.
Gudang adalah ruangan lapang dengan atap tinggi. Lantai dalam ruangan dipenuhi debu setinggi kira-kira 1 senti. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk melanjutkan pembangunan ditumpuk disudut ruangan. Laba-laba yang terlalu bebas membuat sarangnya dimana-mana menandakan tidak ada orang yang pernah menyentuh tempat itu sebelumnya.
Jejak-jejak yang tertinggal dalam ruangan dapat terdeteksi dengan jelas karena debu pada lantai terhapus dibeberapa bagian. Dari jejak-jejak itu Haikal bisa membayangkan apa yang sedang terjadi atau apa yangdilakukan oleh korban selama disekap.
Tepat yang paling banyak kehilangan debu di atas lantai adalah awalnya. Haikal yakin sebelumnya korban berada di tempat itu dalam waktu lama, dalam keadaan terikat.
Ada jejak memanjang yang menandakan korban menyeret tubuhnya meninggalkan tempat yang menjadi awalnya, menuju ke tempat lain di sudut ruangan. Dari keadaannya yang terikat di tangan dan kakinya, korban hanya bisa bergerak menggunakan tumit dan bokongnya. Perlahan.
Korban pasti melihat benda tajam diantara tumpukan barang-barang di sudut ruangan. Benda itulah yang digunakan untuk memotong tali yang mengikat tangannya. Dari bentuk potongannya dan sayatan pada tali yang tidak beraturan, Haikal membayangkan tangan korbannya diikat ke belakang seperti yang tertulis dalam laporan.
Tidak bisa melihat saat tangannya begerak memotong tali, membuat korban melakukannya dengan perlahan dan berhati-hati. Beberapa kali memotong tempat yang berbeda membuat bekas sayatan pada tali tidak tetap.
Haikal berhenti membayangkan usaha korban untuk memutuskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Kini fokusnya untuk menemukan benda yang digunakan untuk memotong. Ia memperhatikan disekitar tali, tumpukan barang, dan seluruh ruangan. Nihil. Tidak ditemukan benda itu dimanapun dalam TKP.
Haikal kembali memeriksa berkas laporan di tangan kanannya dan menemukan benda berupa sekop kecil berbahan stainles dalam daftar barang korban.
Berusaha memposisikan diri dengan kondisi korban saat itu, Haikal bisa mengerti kenapa korban membawa benda itu dalam sakunya. Sebagai alat untuk membela diri. Sekop itu akan korban gunakan untuk membalas pelaku seandainya ia diserang lagi. Sayangnya meski ia diserang lagi seperti prediksinya, korban tidak bisa menggunakan sekop yang dibawanya untuk membela diri.
“Menemukan sesuatu ?” Iwata yang puas melihat-lihat sekeliling bangunan bertanya.
“Hanya ada satu jejak sepatu. Sisanya jejak dari para petugas saat olah TKP,” jawab Haikal. “Bukannya itu sedikit aneh ?” tambahnya mengerutkan kening.
“Mau dengar kemungkinan yang saya pikirkan ?”
Haikal hanya menaikkan sebelah alisnya. Iwata berjalan keluar ruangan dan Haikal membuntuti.
“Pelaku dan korban datang bersama dengan kendaraan milik korban,” Iwata memulai.
“Itu tertulis dalam laporan,” Haikal memotong. “Karena tidak ada jejak kendaraan lain di halaman gudang, penyelidik menyimpulkan seperti itu.”
“Oke. Kalau begitu dimulai dari yang tidak tertulis dalam laporan,” Iwata menghela nafas. Ia mengajak Haikal memutar, menuju ke belakang gudang. “Pelaku tidak membawa korban masuk dari pintu depan, melainkan dari pintu belakang.”
“Eh ?!”
“Tanah disekitar bangunan keras dan kering, jadi tidak akan meninggalkan jejak apapun,” Iwata memulai lagi. “Itu alasan yang paling tepat kenapa hanya ada jejak korban dan petugas yang tertinggal dalam ruangan.”
Haikal berjongkok, memperhatikan tekstur tanah dan bagian-bagian di sekitar pintu belakang. Ada patahan ranting. Petunjuk awal yang Iwata temukan untuk merangkai kemungkinan-kemungkinan awal yang ada di pikirannya. Kemudian menyatukannya dengan bagian lain yang ia lihat.
“Pintu bagian belakang jika dilihat dari dalam tersamarkan karena sama dengan warna dindingnya sehingga korban tidak sadar dan begitu ikatan terlepas ia lari menuju pintu depan untuk membebaskan diri,” lanjut Iwata.
“Hahh.. saya melewatkan bagian pentingnya,” Haikal menepuk jidatnya.
“Pertanyaannya adalah kenapa dia begitu berhati-hati dengan jejak pijakannya. Karena dia tipe orang yang teliti atau...”
“Jejak pijakan yang ditinggalkan bisa membuat identitasnya terungkap. Mungkin sebelah kakinya luka sehingga jika jejaknya tertinggal atau sesuatu yang sejenisnya,” Haikal menyambung. “Sepertinya ini memang kasus yang lebih rumit dari kelihatannya.”
Setelah cukup mengamati dan mencari-cari, kendaraan mereka beralih ke TKP kecelakaan. Berbeda dengan TKP penyekapan yang masih steril, tempat kejadian kecelakaan sudah tidak lagi meninggalkan jejak. Kecelakaan terjadi di dalam kota, meski tidak tepat di pusat kota dan bukan jalan utama, tapi lalu lalang kendaraan selalu padat memenuhi jalan di jam-jam tertentu. Ditambah lagi kecelakaan sudah berjeda seminggu yang lalu. Tidak ada yang tersisa sekalipun serpihan pecahan kaca mobil. Satu-satunya hal yang membuktikan pernah terjadi kecelakaan di tempat itu hanya keterangan orang-orang sekitarnya.
Meski tidak banyak membantu, setidaknya mereka sudah melihat TKP secara langsung.
“Sebentar, saya mau menemui salah seorang saksi yang membuat pernyataan saat itu,” kata Haikal kemudian berlalu ke rumah salah seorang warga.
Iwata keluar dari mobil beberapa menit kemudian. Ia hanya mondar-mandir di sekitar TKP kecelakaan sembari menunggu Haikal kembali.
Memang tidak ada lagi jejak kecelakaan yang masih tersisa. Iwata memeriksa ke semak-semak, tidak ingin ada tempat yang terlewatkan dari pengamatannya. Tetap tidak ada apapun. Itu artinyanya tukang sapu jalan sudah melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Dengan sangat bersih.
Haikal kembali sepuluh menit kemudian.
“Seorang saksi bilang truk penabrak memarkirkan kendaraannya disana.” Haikal menunjuk di arah kejauhan, sebuah tanah kosong. Jarak dari TKP penyekapan adalah sekitar 250 meter dari tempat itu. “Saksi itu sama sekali tidak melihat seseorang masuk atau keluar dari truk. Dia juga bilang tidak merasa ada yang mencurigakan sebelumnya.”
Iwata membolak-balik ulang laporan yang dari tadi dibawanya.
“Kendaraan curian, di parkir selama kira-kira sejam di tempat umum, bukannya pelakunya terlalu percaya diri,” Haikal berkata lagi.
Iwata hanya mengangguk. Sebagian fokusnya masih digunakan untuk berpikir.
“Ayo, kita masih harus mengajukan pertanyaan ke keluarga dan orang terakhir yang bersama korban.”
Korban pertama bernama Tri Agus, 20 tahun. Seorang mahasiswa fakultas teknik sipil di salah satu PTN terfavorit. Terakhir kali terlihat berkumpul dengan teman-temannya dari fakultas yang sama untuk mengerjakan tugas kelompok yang deadlinenya jatuh pada keesokan harinya.
Tri Agus bersama tiga temannya berkumpul disebuah disebuah kafe dari pukul 14.30-16.20. Ayu, Rizki, dan Wahyu.
Menurut keterangan tiga temannya yang lain, tidak ada hal aneh yang terjadi pada Tri Agus selama mereka mengerjakan tugas bersama. Tidak itu menerima telepon atau pesan tidak dikenal ataupun gerak-gerik yang menandakan korban sedang gelisah karena mencemaskan sesuatu.
Seperti biasanya Tri Agus tidak banyak bicara. Dia adalah tipe orang yang tidak terlalu mempedulikan hal yang menurutnya tidak begitu penting. Sifat acuh yang sudah berada di level akut itu bisa jadi sangat menyebalkan bagi orang-orang disekitarnya.
Begitu tugas kelompok selesai, mereka berpisah dengan Tri Agus. Ayu pulang ke rumah, sementara Rizki dan Wahyu menghabiskan sisa sore itu dengan berkeliling mol.
Dari ketiga teman sekelompoknya, tidak satupun yang dekat dengan Tri di kelas. Hanya karena mereka terpilih dalam satu kelompok saja sehingga mereka menghabiskan waktu bersama hari itu.
Agus Tri bukan tipe yang dibenci sebenarnya. Hanya saja mereka merasa bukan teman yang bisa bergaul baik dengan tipe orang seperti Tri.
Seperti halnya keterangan yang diberikan teman-teman Tri, keterangan yang diberikan keluarga Tri juga tidak banyak membantu. Meski telah seminggu berlalu, keluarga masih dalam suasana berkabung sehingga sesi tanya jawab lebih banyak diisi tangis dan isak mengenang.
Hari itu ketika Tri tidak juga pulang ke rumah, sang Ibu sudah merasa resah. Malam semakin gelap dan tetap tidak ada kabar dari anak laki-laki satu-satunya itu sementara ponselnya tidak juga aktif.
Ibu terjaga sepanjang malam, sementara Ayah keluar untuk mencari kabar.
Mereka tahu Tri tidak seperti anak laki-laki seusianya kebanyakan yang biasa pulang larut atau tidak pulang semalaman karena menginap di rumah teman. Tri hanya memiliki 1, 2 orang teman dekat. Layaknya seorang introfert, Tri lebih senang mengurung diri di rumah dibanding menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya di luar.
Agus Tri adalah anak satu-satunya dengan limpahan kasih sayang sekaligus limpahan fasilitas. Karena anak satu-satunya itu jugalah yang membuat harapan tinggi orangtuanya dibebankan sepenuhnya pada Tri.
Menurut keterangan Ayah, Tri tidak pernah melakukan hal-hal yang mengecewakan selama ini. Nilai-nilai pelajaran Tri selalu baik. Sopan santun dan tata krama yang diajarkan pada Tri sejak kecil juga selalu diterapkannya. Satu-satunya yang membuat Ayah dan Ibu khawatir adalah sikap Tri yang terlalu pendiam dan tidak bergaul.
“Apa ada alasan kenapa Tri terlalu bersikap pendiam dan tidak bergaul ?” tanya Haikal.
Ayah Tri menggeleng. “Itu tiba-tiba. Tapi tidak ada masalah apa-apa dengan sikapnya itu sampai saat ini.”
Setelah merasa cukup mengajukan pertanyaan, Iwata dan Haikal berterimakasih dan pamit pulang.
“Beban menjadi anak satu-satunya yang memikul harapan besar kedua orangtuanya itu merepotkan. Jika ingin tetap menjadi anak baik nan penurut seharusnya dia tidak acuh atau menjaga jarak untuk bergaul. Tapi jika ingin memberontak diam-diam seharusnya dia perlu lebih banyak teman untuk diajak senang-senang,” komentar Haikal.
“Mungkin dia punya cara berpikir sendiri. Ayo.”
“Sekarang kita kemana ?”
“Makan siang, aku lapar,” ujar Iwata, tapi sebelum Haikal menghidupkan mesin mobil, ponsel Iwata berdering. “Tunggu, Sakhi nelpon. Siapa tahu dia mau mengajak makan siang.”
Haikal hanya mendesis. Patnernya satu itu benar-benar tidak setia kawan jika sudah menyangkut calonnya itu.
Sakhi adalah calon yang Iwata sebut-sebut akan dinikahinya bulan depan. Beberapa hal pun sudah mulai dipersiapan untuk menyambut hari paling bahagia bagi kedua pasangan itu. Hari dimana mereka akan menjadi pasangan yang halal. Saat ijab kabul diucapkan dan kata ‘sah’ diserukankan oleh para saksi.
Keduanya saling mengenal setahun lalu. Tepat saat pembentukan Tim Khusus pertama dan kasus pembunuhan berantai dengan menggunakan racun dari tanaman Wolfsbane terjadi.
“Ayo kita ke kafe,” kata Iwata setelah panggilan berakhir. “Sakhi bilang dia membuat menu baru lagi. Kita diundang sebagai tamu kehormatan untuk mencicip.”
“Tamu kehormatan ?” Haikal terkekeh mendengar sebutan yang Iwata ucapkan untuk mereka berdua.
Sakhi bekerja di sebuah kafe yang terkenal dengan keanekaragaman minuman menyegarkannya yang unik. Sebenarnya Sakhi menderita Congenital Analgesia. Penyakit akibat terganggunya jaringan syaraf antara panca indra dan otak sementara orang tetap dalam keadaan sadar. Penyakit yang menyebabkan indra perasanya tidak berfungsi dengan baik. Meski tidak bisa merasakan, Sakhi justru bekerja di tempat yang menuntutnya jeli dalam menilai rasa. Sakhi memang tidak selalu mengambil jabatan sebagai juru masak. Tapi ia akan turun ke dapur ketika juru masak tidak masuk atau saat harus menciptakan menu baru.
Bagi Sakhi, masak merupakan perpaduan angka-angka. Saat semua indra perasanya tidak lagi bisa diandalkan, ia menggunakan takaran dengan perbandingan angka-angka yang sudah tersimpan rapi dalam otaknya untuk menciptakan rasa yang disebut enak.
***
VIII
Karena kebetulan semua anggota tim berkumpul di tempat yang sama, pembahasan terkait kasus akan langsung dilanjutkan setelah sesi makan siang selesai. Huda yang memang sengaja membawa lembar-lembar hasil pencariannya untuk ia tunjukkan pada Iwata dan Haikal yang ia tahu dari Sakhi juga akan ke kafé, akhirnya bisa sekaligus ia tunjukkan pada Ketua Tim.
Sebuah meja baru saja ditinggalkan tiga orang wanita. Dilihat dari gaya berpakaiannya, mereka sama-sama bekerja disebuah perusahaan. Seorang gadis berkerudung menggunakan atasan model blazer sementara dua temannya yang sama-sama berambut panjang mengenakan atasan berkerah formal dan celana kain.
Pegawai kafé segera membersihkan meja yang kosong itu dan menambahkan satu lagi kursi. Walau sudah bersih dan empat yang lainnya sepakat dengan itu, Ketua Tim mengelap lagi meja di depannya dengan tisu. Bagi Ketua Tim, kebersihan adalah mengenai bagaimana ia merasa nyaman. Jika ia belum merasa nyaman meski telah dibersihkan atau meski orang seisi dunia merasa itu tidak ada yang salah, jika ia masih merasa belum nyaman atau matanya masih bisa melihat titik-titik yang ia curigai sebagai noda, itu berarti masih belum masuk standar kebersihannya.
Istirahat untuk makan siang berlangsung lebih cepat dari hari-hari biasanya. Setelah semua yang ada di atas meja terlahap habis, piring dan gelas segera disisihkan. Setelah meja kembali mengkilap seperti sebelum digunakan, pembahasan mulai dibuka.
Penyampaian perkembangan penyelidikan putaran pertama dilakukan oleh kelompok Iwata-Haikal. Iwata dan Haikal yang kesulitan untuk memilih siapa yang bertugas melaporkan hasil penyelidikan sejauh ini, melakukan kertas, batu, gunting. Pemenangnya akan menjadi pembicara.
“Haaahh!” Iwata mengerang kesal karena menjadi pihak yang kalah. Sebelumnya ia yakin bisa mengalahkan Haikal dalam segala hal. Tapi untuk yang satu ini, ia tidak pernah menang melawan Haikal. Sekalipun.
Haikal memulai dengan menjelaskan mengenai dugaan Iwata bahwa setelah dibius korban di bawa masuk ke tempat penyekapan melalui pintu belakang. Haikal menyebutkan fakta bahwa terdapat jejak sepatu korban dan patahan ranting yang ditemukan di pintu belakang sebagai buktinya.
Bagaimana rekonstruksi penculikan korban, bagaimana korban disekap, cara korban melarikan diri, sampai saat tabrakan terjadi, Haikal menceritakan semua alur yang ada dipikirannya secara detail.
Hal yang mencurigakan, yang patut dipertanyakan dari pembunuhan korban pertama adalah sikap pelaku. Pelaku bersikap sangat hati-hati dan teliti. Tidak meninggalkan jejak pijakannya sekalipun. Tapi disisi lain, pelaku bersikap pongah dengan memarkir truk curiannya serampangan, di pinggir jalan. Tempat umum.
Sebelum meyelesaikan laporannya, Haikal menambahkan keterangan terakhir dengan mengatakan tidak ditemukannya kerusakan pada pintu gudang sebagai tanda pernah dibuka paksa sebelumnya menandakan pelaku memiliki kunci atau duplikatnya. Yang artinya kemungkinan memiliki hubungan dengan pemilik bangunan.
“Bagaimana dengan keseharian korban ? Sampai sehari sebelum menghilang apa tidak ada yang mencurigakan ?” ketua tim mengintrupsi, Haikal menggeleng. “Oke. Selanjutnya, Huda.”
Huda membuka catatannya.
Baik Tri Agus ataupun Aditya Zainuddin, tidak ditemukan adanya pesan aneh atau panggilan mencurigakan dari nomor tidak dikenal di catatan telponnya. Isi pesan yang masuk hanya seputar obrolan antar teman, dan panggilan yang diterima ataupun panggilan keluar juga hanya berasal dari orang-orang terdekat.
Berkebalikan dari Aditya, Tri Agus sangat jarang menerima, atau melakukan panggilan. Ia bahkan hampir tidak pernah mengirim pesan. Benar-benar tipe penyendiri.
Huda meletakkan di tengah meja sebuah kertas agar bisa dilihat semua orang. Kertas yang berisi sket tempat terakhir sinyal ponsel kedua korban terlihat. Huda menyebutkan detail tempatya.
Lokasi menghilangnya sinyal ponsel korban pertama kira-kira berada di jarak 200 meter dari lampu merah simpang empat. Jarak pulang menuju ke rumahnya. Seperti keterangan para saksi, Tri Agus memang menghilang setelah selesai mengerjakan tugas kelompok dan pulang.
Lokasi sinyal ponsel korban kedua menghilang adalah di jalan kecil. Sama seperti tempat sinyal ponsel korban pertama menghilang, tempat hilangnya sinyal ponsel korban kedua juga sesuai dengan rute pulang ke rumah yang selalu dilewatinya.
Dengan berpatokan pada itu, Huda yakin semua keterangan yang diberikan orang-orang terakhir yang melihat kedua korban benar. Tidak ada keterangan tumpang tindih atau mencurigakan.
“Dari riwayat pendidikan, teman bergaul, kesukaan, grup atau fans page yang diikuti, tempat-tempat yang sering didatangi, tidak satupun yang sama.” Suara Huda terdengar kecewa. “Ahh... tapi entah kenapa saya merasa ini bukan pembunuhan dengan korban yang dipilih secara acak.”
“Ini penyelidikan, bukan hanya berdasarkan perasaan. Jika yakin temukan buktinya, jika tidak maka berhenti disitu,” ketua tim menanggapi tegas.
“Siap!”
“Kalau begitu kita tambah materi penyelidikan. Fokuskan juga penyelidikan pada truk curian, dan pemilik bangunan tempat penyekapan,” ketua tim memberi komando. “Huda, tetap lanjutkan pencarian kesamaan kedua korban. Minta bantuan ke unit Resmob juga ke petugas lain untuk mencari saksi di tempat para korban menghilang.”
“Siap!”
Semua orang telah merapikan barang bawaan mereka, bersiap-siap mengakhiri pembahasan hari ini.
“Eh anak baru, tidak ada yang mau kamu sampaikan ?” Haikal bertanya ingin tahu karena Ken sama sekali tidak diberi kesempatan berbicara. Padahal ia sangat bersemangat, ingin tahu bagaimana cara Ken melihat kasus dan seperti apa kemapuanya.
“Ken, ada yang mau kamu sampaikan ?” ketua tim juga bertanya, seolah baru teringat bahwa anak itu ada.
Ken memperlihatkan wajah yang tidak sedap dipandang, cemberut. Ujung bibirnya menekuk ke bawah dan pandangan matanya menunjukkan malas dan kesal. Ini kedua kalinya. Ketua tim memang benar-benar meremehkannya, menganggapnya bocah ingusan dan ditempatkan dalam tim hanya untuk menggenapkan bilangannya. Ia menghela nafas panjang.
“Ada. Dua hal,” Ken akhirnya menjawab meski masih dengan nada malas. “Pertama, pelaku mengetahui cara kerja polisi yang berarti seorang profesional atau... dari kalangan penegak hukum.”
Pernyataan Ken yang terlalu berani membuat kelopak-kelopak mata yang mendengarnya melebar. Meski terkejut bercampur salut, tidak seorangpun yang berencana mengintrupsi. Sejauh yang juga mereka lihat dari kasus ini, pelaku memang sangat teliti dan bersih. Seperti seorang profesional atau mengetahui prosedur penyelidikan polisi.
“Kedua,” Ken menghela nafas lagi “akan ada kejahatan lanjutan.”
Hening. Tiba-tiba mereka merasa keadaan dalam kafé terlalu tenang. Padahal seingat mereka beberapa detik lalu pelanggan masih keluar-masuk kafé. Saat sadar, ternyata keheningan hanya terjadi di meja mereka saja. Ketua tim meneguk air dalam botol kemasan miliknya. Suara tegukannya terdengar sangat jelas.
“Apa maksudnya ?”
“Jangan bercanda, itu kesimpulan yang kamu dapat darimana ?”
“Kenapa kamu bisa berpikir begitu ?”
Haikal, Huda, dan Iwata mengajukan pertanyaan berturut-turut. Dibanding kalimat pernyataan pertama Ken yang masih bisa dimaklumi, pernyataan keduanya terlalu ekstream. Meramal akan ada kejahatan lanjutan itu bukan perkara main-main. Karena jika tentang kejahatan berarti akan ada korban.
Ken bersiap menjelaskan. Empat yang lainnya merapat, memasang telinga, siap melakukan penalaran.
“Saya tertarik dengan pertanyaan yang Pak Huda sebutkan pagi tadi. ‘Kenapa pelaku menyekap korban, membiarkannya bebas, baru kemudian membunuh. Kenapa tidak langsung dibunuh saat korban disekap ?’”
“Jawabannya bisa saja karena pelaku adalah pembunuh gila yang menikmati saat-saat terakhir korban mengusahakan kebebasannya,” ketua tim menjawab dengan cepat.
Ken menggeleng. Bibir bagian atas ketua tim sedikit terangkat. Melihat anak yang ia sebut bocah menepis jawabannya begitu saja tanpa berpikir barang beberapa detik saja membuatnya merasa diremehkan balik.
“Kalau alasannya seperti itu, maka kasus ini adalah pembunuhan karena rasa suka dan akan ada lebih banyak korban, juga akan berlangsung lebih lama. Tapi caranya membunuh sangat berisiko. Kali ini memang berhasil, tapi tidak mungkin keberuntungan itu mengikuti selamanya. Jika pelaku menyukai menghabisi nyawa orang lain melebihi apapun, seharusnya ia menggunakan cara lain yang lebih aman. Dia tipe teliti dan berhati-hati, jadi tidak mungkin mengambil langkah yang terlalu berisiko.”
“Jadi ?” Haikal memburu, tidak sabar mendengar poin pentingnya.
Ken menyambung kalimatnya. “Saya setuju dengan pemikiran Pak Huda bahwa pasti ada kesaman antara korban pertama dan kedua. Ini adalah pembunuhan yang menargetkan beberapa orang. Dilihat dari berjalannya kasus sampai hari ini dan belum ada tujuan yang bisa terbaca, menandakan masih akan ada kejahatan lanjutan.”
Penjelasan selesai. Saatnya nalar yang bekerja. Menggabungkan semua hal yang sudah mereka temukan dan dengarkan untuk menarik benang merah. Kesimpulan akhir dari kalimat-kalimat yang sudah Ken katakan.
“Dipikirkan berapa kalipun semua itu tetap saja hanya sebatas argumen,” kata ketua tim. Huda mengangguk setuju. “Seperti yang saya bilang sebelumnya, ini penyelidikan, bukan hanya pemikiran berdasarkan perasaan atau argumen tak berdasar. Jika yakin temukan buktinya, jika tidak maka cari petunjuk lain.”
Ken mengangguk mengerti. Meski ia yakin 100% dengan apa yang sudah diucapkannya, ia tidak akan berdebat untuk menuntut kepercayaan orang lain sama dengannya. Ia hanya perlu terus melanjutkan penyelidikan, agar ia bisa menemukan buktinya. Agar pelaku bisa segera tertangkap dan kejahatan lanjutan tidak sampai terjadi.
“Kalau begitu sampai disini. Semuanya kembali lanjutkan penyelidikan kalian.” Ketua tim beranjak dari tempat duduknya lebih dulu.
“Siap.”
“Akhhh! bajuku,” keluh ketua tim saat melihat ada noda kecap menempel di bajunya. Ada umpatan singkat yang terdengar pelan. Ia berusaha menghapus noda itu dengan tisu, tapi yang ada nodanya justru melebar. “Ken, kamu kembali ke kantor ikut Huda saja. Saya harus pulang sebentar untuk mengambil baju ganti.”
“Si... siap pak.”
“Ayo kita pergi.” Huda merangkul leher Ken dengan lengannya.
Setelah pamit dan berterimakasih pada Sakhi. Huda dan Ken kembali ke kantor lebih dulu. Iwata tinggal sedikit lebih lama, berbicara sedikit lebih banyak. Haikal yang hanya duduk manis didalam mobil menunggu, mengarahkan lirikannya sekali-kalike arah Iwata dan sakhi. Curi-curi pandang.
Ia menghela nafas panjang seolah beban yang dipikulnya teramat berat.
“Sorry lama.” Iwata kembali.
“Menurutmu…” Haikal mengambil jeda terlalu lama sebelum melanjutkan kalimatnya. “Menurutmu mengenai dugaan anak baru itu, seperti apa ?”
“Kejahatan lanjutan ?” Iwata balik bertanya, Haikal mengangguk. Iwata menyalakan mesin mobil dan kendaraan mereka mulai menjauhi parkiran kafé, dan semakin menjauh. “Berpikir begitu seperti berharap akan terjadi kejahatan lain artinya akan ada korban lain. Tapi, meski begitu, saya rasa yang Ken pikirkan itu masuk akal. Ada benarnya.”
“Kenapa ? bukannya Komandan Hamzah bilang itu hanya sebatas argumen.”
“Iya. Tapi kita tidak boleh melewatkan segala kemungkinan, ‘kan.”
Haikal mengangguk untuk yang Kesekian kalinya. Pembahasan berhenti. Kendaraan terus melaju. Kepadatan jalan berkurang dalam jumlah banyak saat jam istirahat berakhir. Setiap pegawai dan para pekerja kembali ke tempat mereka masing-masing, melanjutkan kesibukan.
***